memaknai bid'ah

                Sebagian kelompok agama dengan mudah memvonis bahwa segala hal yang tak pernah dilakukan di zaman Rasulullah adalah hal yang menyimpang alias bid’ah sesat. Tudingan ini perlu dijernihkan, selain lebih kerap membingungkan masyarakat juga tak selaras dengan fakta historis yang masih kita jalankan hingga kini serta dasar-dasar Sunah dan al-Qur’an sendiri yang diklaim sebagai pegangan utama.





 Allah subhanahu wata’ala telah memberikan modal dasar kepada kita berupa iman dan takwa. Dengan modal ini, kita mendapat derajat yang mulia dan juga mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat. Kerena itulah kita harus bersyukur dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya.

Di dalam surat al-Hadid ayat 27, Allah SWT berfirman:


وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ

“Kami jadikan dalam hati orang- orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah. Padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah.”
“maa katabnaa alaihim (Kami tidak mewajibkan perilaku rabbaniyyah itu untuk mereka)”

Dalam Hadits riwayat al-Bukhari dijelaskan:


كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي وَرَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ "، قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ: رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ، قَالَ: مَنِ المُتَكَلِّمُ, قَالَ: أَنَا، قَالَ:رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ

“Pada suatu hari kami shalat di belakang Nabi SAW dan ketika beranjak dari ruku’ beliau melafalkan, ‘samiallahu liman hamidah’. Tiba-tiba ada seseorang yang mengucapkan, ‘Rabbana walakal hamdu, hamdan, tayyiban mubaarakan fih. Usai shalat, Nabi SAW bertanya, ‘Siapa yang mengucapkan kalimat itu tadi? ‘Saya’ Jawab salah seorang sahabat. ‘Saya melihat lebih dari tiga puluh malaikat berlomba-lomba mencatatnya terlebih dahulu’ Imbuh Nabi SAW.” (HR: al-Bukhari)


Rasulullah mengajarkan kepada sahabat ini bacaan tersebut. Sahabat sendiri yang mengada-ada dan memulainya terlebih dahulu, tetapi Rasulullah tidak mengatakan, “Haram kamu melakukan apa yang tidak saya lakukan. Haram kamu membaca kamu membaca apa yang tidak pernah saya baca”. Tetapi justru Rasulullah memberikan orang ini kabar gembira karena ada 30 lebih malaikat yang berlomba-lomba untuk mencatatnya lebih dahulu.

Dari ayat Al-Qur’an dan sabda Rasulullah tadi, dapat diambil kesimpulan bahwa tidak serta merta sesuatu yang baru, yang tidak pernah dilakukan Rasulullah, tidak pernah dilakukan para Sahabat, dikatakan sesat atau bid’ah dhalalah. Sesuatu yang sesat dan pada akhirnya akan masuk neraka.
Tapi timbangan bahwa sesuatu dikatakan atau tidak sesat adalah timbangannya Al-Qur’an atau sunah Rasulullah.

Rasulullah dalam Hadits sahih yang diriwayatkan Imam Muslim mengatakan:

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

Barang siapa yang memulai dalam ajaran agama Islam ini sesuatu yang baik, maka dia akan mendapatkan pahala dan pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa yang memulai ajaran agama dengan sesuatu yang tidak baik, maka dia akan mendapatkan dosa orang-orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR: Muslim)


Berdasarkan Hadits ini, Imam Syafii radiuallahu anhu, seperti yang dikutip oleh Asy-Syatibi, mengatakan: “Apabila perkara baru yang muncul setelah Rasulullah bertentangan dengan al-Qur’an, Sunah Rasul dan para sahabatnya, dan ijma’, maka ini termasuk perkara baru yang tercela. Namun sebaliknya, ia tidak bisa dikatakan perkara baru yang tercela bila tidak bertentangan dengan sumber-sumber hukum tersebut.

Imam Syafii mengatakan bahwa patokan buruk atau tidaknya sesuatu itu bukan berdasarkan apa yang pernah dilakukan Rasulullah dan para sahabat saja, tetapi harus merujuk kepada al-Qur’an dan Sunah Rasulullah.



Pasalnya ada perbuatan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah, tetapi para sahabat mengerjakannya dan diikuti oleh banyak orang yang hidup setelahnya hingga saat ini.

Dalam sahih Bukhari, Imam Syafii menyebutkan shalat Tarawih berjamaah pertama kali dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Sebelumnya, Rasulullah mengerjakannya sendiri-sendiri, tidak berjamaah. Ketika masa Khalifah Abu Bakar, shalat Tarawih juga sendiri-sendiri.



Tapi kemudian, ketika masa Khalifah Umar bin Khattab, beliau melihat para sahabat shalat sendiri, maka beliau kumpulkan dalam satu imam. Beliau menunjuk sahabat Ubaid bin Ka’ab untuk menjadi imam. Setelah itu, beliau mengatakan “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Sebaik-baik perkara yang baru, yang tidak ada sebelumnya adalah ini”. Umar bin Khattab, tidak memaknai apa yang tidak dilakukan Rasulullah SAW pasti sesat.



Buktinya beliau melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah dan sampai sekarang kita melakukan shalat Tarawih secara berjamaah.

Bagaimana pun juga, para ulama tidak memahami bahwa segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabat adalah bid’ah yang sesat. Ada sesuatu yang baru muncul setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan sampai sekarang kita masih melakukannya, seperti penulisan tanda titik dan harakat al-Qur’an, namun tidak dikatakan sesat oleh banyak ulama.

Penambahan titik dan harakat ini dilakukan pertama kali oleh Yahya bin Ya’kub, tabiin yang hidup setelah masa sahabat.

Penjelasan ini disebutkan Al Imam Abu Dawud dalam kitabnya Darul Masohib. Pada bagian bahasan sejarah mushaf dijelaskan bahwa Yahya bin Ya’kub adalah orang yang pertama kali menuliskan tanda titik dalam Qur’an.



Ketika Rasulullah meminta para Sahabat menuliskan Qur’an, tidak ada titiknya. Begitu juga pada saat Khalifah Umar membagikan Al-Qur’an ke beberapa tempat, juga belum ada titiknya.

Penulisan tanda titik dalam Qur’an dimulai pada masa tabiin dan sampai sekarang kita masih membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakatnya serta dilengkapi dengan nomor ayat. Hakikatnya bentuk al-Qur’an yang semacam ini tidak pernah ada pada masa Rasulullah SAW. Hal ini berati patokan kebenaran itu adalah al-Qur’an dan Sunnah.

Sebagaimana yang ditegaskan al-Qur’an:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

Apa yang diperintahkan oleh Rasullllah, maka kerjakanlah dan tinggalkanlah segala yang dilarang Rasulullah SAW” (QS: Al-Hasyr ayat 7).
Sesungguhnya para ulama tidak mengatakan bahwa setiap bid’ah itu pasti sesat. Mereka yang berpendapat bahwa setiap bid’ah sesat selalu berdalil dengan Hadits:

فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَة

“Sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat”

Ibnu Hajar al-Atsqalani menerangkan bahwa Hadits ini memiliki redaksi umum yang bermakna khusus.Kullu bid’atin dhalalah dimaknai dengan sebagian bid’ah sesat, bukan semua bid’ah sesat.
Pemaknaan kalimat ini hampir sama dengan firman Allah SWT tentang adzab kaum Aad:

تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ

“Yang menghancurkan segala sesuatu........” (QS: al-Ahqaf ayat 25)
Meskipun ayat ini menggunakan kata kulla syai’, bukan berati maknanya menghancurkan semua sesuatu, karena jika dipahami seperti ini maka berati pada waktu itu sudah terjadi kiamat. Padahal maksud sebenarnya adalah angin menghancurkan setiap sesuatu yang dilewatinya saja.
Sehingga makna kullu di sini dimaknai dengan sebagian besar hancur.

Dengan demikian, ketika Rasul mengatakan, kullu bid’atin dhalalah, maknanya bukan berati semua bid’ah sesat, tetapi dimaknai dengan sebagian besar bid’ah yang sesat.
Terlebih lagi, tidak mungkin satu Hadits bertentangan pemaknaannya dengan Hadits yang lain.

Kalau Hadits yang pertama membolehkan melakukan sesuatu yang baru dan dianggap baik, bahkan orang yang melakukannya mendapatkan pahala dan begitu pula dengan orang yang mengikutinya, maka Hadits berikutnya kullu bid’atin dhalalah, tidak bisa dimaknai dengan segala sesuatu yang baru adalah sesat dan orang yang melakukannya akan masuk neraka.
Para ulama mengatakan segala sesuatu ditimbang menurut ukuran syara’,al-Qur’an dan Sunah.

Diantara perkara baru adalah peringatan Maulid Nabi SAW. Karenanya penting bagi kita untuk memaknai bid’ah, sehingga kita bijaksana dalam menyikapi sesuatu yang muncul baru dan sudah menjadi tradisi umat Islam dari generasi ke generasi.

Mulai dari abad ketujuh sampai abad kelimabelas, kebanyakan umat Islam melakukannya. Maka kalau seandainya dikatakan bid’ah yang sesat dan masuk neraka,
Maka tidak akan pernah para ulama menulis tentang kebolehanya. Ada ratusan lebih para ulama yang membolehkan maulid Nabi, bahkan Hadratus syekh KH Hasyim Asy’ari dalam kitabnya At Tanbihan Al Wajibat, juga membolehkannya.

    Dalam hal ini saya lebih setuju :
 - Amal kebaikan itu di bolehkan selama tidak ada larangan dalam alqur'an dan sunnah.
 - Tidak semua amal kebaikan yg tidak dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW itu sesat. 
 - Dan semua amal kebaikan bisa jadi ibadah, jika dibarengi dengan niat yang benar. tentunya dalam mencari atau mengharap ridlo Allah SWT.
- Persoalan sesat dan tidak sesat itu, sejatinya adalah haknya Allah SWT yang menentukan.

      Mudah-mudahan, kita dapat memahami sabda Rasulullah dan memaknai Al-Qur’an dengan benar dan mudah-mudahan, kita termasuk orang yang mengikuti Sunah Rasulullah, dan mudah-mudahan kita dijauhkan dari bid’ah-bid’ah yang menyesatkan. Amiiin ya rabbal alamiin.

sumber: nu.or.id

Apabila bermanfaat silahkan Like! dan Share!! !

Comments
0 Comments

0 comments:

Catat Ulasan