Memaparkan catatan dengan label Khazanah. Papar semua catatan
Memaparkan catatan dengan label Khazanah. Papar semua catatan

Bumi itu Datar atau Bulat? Berikut penjelasannya !!



- Benarkah pelajaran Sekolah kita sudah di bohongi ?
- Bumi bulat seperti telor (Globe)
- Matahari sebagai pusat tata surya?
- Bumi dan bulan mengelilingi matahari ?

Bagaimana menurut Alqur'an ?

Menurut Info baru baru ini bumi itu tidak bulat seperti telor, tapi berupa dataran yang luas dan membentang, tidak berputar mengelilingi matahari..

- Bumi Jauh Lebih Besar dr matahari.
- Langit itu ada, (Bukan berupa Ruang hampa, seperti antariksa yg diajarkan di sekolah )seperti kubah yang meliputi bumi. berlapis lapis.
- Matahari dan bulan beredar mengelilingi bumi melalui garisnya.

Seperti di jelaskan di dalam Alqur'an (saya mengutip dr kitab Tafsir Al-jalalain )

Bumi di Bentangkan (Dihamparkan) Bumi Itu Datar.
- Surat: Al-baqarah:22
Surat: Ar-RA'ad:3
- Surat: Al-Kahf:47

Matahari dan Bulan Beredar pada porosnya :
- Surat: Ibrahim ayat:33
- Surat: Ar-Ra'ad ayat:2
- Surat: Lukman ayat:29
- Surat: Al-Anbiyaa ayat:33

Matahari dan Bulan masing masing bercahaya (bukan berarti cahaya bulan adalah pantulan sinar matahari)
-  Surat: Yunus ayat:5
-  Surat: Al-Furqan:61
-  Surat: Nooh :16

Dan Masih banyak Ayat ayat Alquran yg menjelaskan tentang hal itu.
Wallahu A'lam.

Mari kita telaah video video berikut, !!!

Berikut video 9 serial Konspirasi Bumi Datar :
video 1. bangkitnya Kesadaran Bumi Datar.


Halaman Berikutnya: video 02 Bisnis Triliun Dollar

Memuliakan Nabi dan Keturunannya , siapa sajakah mereka.?

Ketika membicarakan tentang Keturunan Nabi Muhammad SAW, pasti yang terlintas dipikiran kita adalah sebuah gelar “Habib, Sayyid/Sayyidah, (di daerah saya kudus biasa disebut yik) Syarif /Syarifah". dan setiap penyandang gelar tersebut di haruskan bisa menunjukkan silsilah sampai dengan Nabi Muhammad SAW. Bukankah Keturunan Nabi Muhammad yang Laki - laki wafat sewaktu kecil ?
Bagaimana bisa seorang dengan gelar "habib / sayyid" disebut keturunan / keluarga Nabi.

Satu Riwayat di dalam kitab Riyadhus shalihin:
Dari Yazid bin Hayan, katanya: "Saya berangkat bersama Hushain bin Sabrah dan Amr bin Muslim ke tempat Zaid bin Arqam r.a."
Ketika kita sudah duduk-duduk di dekatnya, lalu Hushain berkata padanya:
"Hai Zaid, engkau telah memperoleh kebaikan yang banyak sekali, Engkau dapat kesempatan melihat Rasulullah s.a.w., mendengarkan Hadisnya, 
Berperang besertanya dan juga bershalat di belakangnya. 
Sungguh-sungguh engkau telah memperoleh kebaikan yang banyak sekali. 
Cobalah beritahukan kepada kita apa yang pernah engkau dengar dari Rasulullah s.a.w."

Zaid lalu berkata: "Hai keponakanku, demi Allah, sungguh usiaku ini telah tua dan janji kematianku hampir tiba, juga saya sudah lupa akan sebagian apa yang telah pernah saya ingat dari Rasulullah s.a.w.  Maka dari itu, apa yang saya beritahukan kepadamu semua, maka terimalah itu, sedang apa yang tidak saya beritahukan, hendaklah engkau semua jangan memaksa-maksakan padaku untuk saya terangkan."

Selanjutnya ia berkata: "Rasulullah s.a.w. pernah berdiri berkhutbah di suatu tempat berair yang disebut Khum, terletak antara Makkah dan Madinah. Beliau Rasulullah SAW. lalu bertahmid kepada Allah serta memujiNya, lalu menasihati dan memberikan peringatan, kemudian bersabda: "Wahai sekalian manusia, Sesungguhnya aku ini adalah seorang manusia, 
Mungkin akan segera didatangi oleh utusan Tuhanku (yakni malaikatul maut)dan Aku harus menerimanya, Aku Tinggalkan kalian semua dua perkara berat,
Yang Pertama Kitabullah yang di dalamnya ada petunjuk dan cahaya.
Maka ambillah, amalkanlah dengan berpedoman kepada Kitabullah itu dan berpeganglah

Selanjutnya beliau s.a.w. bersabda: "Dan juga ahli baitku(keluargaku)", 
Aku memperingatkan kalian semua untuk bertaqwa kepada Allah dalam memuliakan ahli baitku, (keluargaku)"
Hushain lalu menyela: "Siapakah ahli baitnya itu, hai Zaid, bukankah istri-istrinya itu  ahli baitnya?" Zaid menjawab: "ya!, juga orang orang yang diharamkan menerima sedekah setelah Beliau wafat" lalu Hushain bertanya lagi: "Siapa saja mereka?"
Zaid menjawab: "Mereka adalah keluarga / keturunan Ali, Aqil, Ja'far Abbas."
Hushain bertanya lagi: "Apakah mereka diharamkan menerima sedekah?"
Zaid menjawab: "ya, Benar!"
(HR - Muslim)

 Kemudian:
Dari Ibnu Umar r.a dari Abu Bakar As-Shiddiq r.a Ia berkata: "Peliharah kehormatan Nabi Muhammad SAW, dengan memuliakan Ahli Baitnya (keluarganya).
(HR Bukhari)

 Di dalam Alquran ( Al- Hujarat:13)
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
(Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kalian )
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui (tentang kalian) lagi Maha Mengenal (apa yang tersimpan di dalam batin kalian)

 Dan Apabila Memuliakan keluarga Nabi dan keturunannya seperti disebutkan hadits diatas itu termasuk bagian dari taqwa, maka kita bisa tentukan sendiri bagaimana harus bersikap kepada Ahli Bait. wallahu a'lam.

 Detiap sholat kita selalu berdoa di dalam Tahiyyat untuk Nabi Muhammad dan Keluarganya. Allahumma sholli ala (sayyidina) Muhammad wa ala aali (sayyidina) Muhammad.

 Ada juga yang berpendapat jika kita memuliakan anak cucu keturunan Nabi itu termasuk menduakan Allah (syirik) , menurut saya ya.. terserah mereka. bagi saya memulikan sesuatu selain Allah tentunya berbeda, dalam lisan dan perbuatan. terkadang kita terbentur dalam bahasa.
Bagi yang memang tidak sejalan atau punya pendapat berbeda  bahasa bisa dijadikan tolak ukur sebagai suatu kesalahan. misalnya: di dalam shalat ketika sebagain orang menggunakan "sayyidina" didalam bacaan tahiyyat (shalawat) , dianggap memuliakan selain Allah.  dan menjadikan tidak sahnya shalat. wallahu a'lam. 

Marilah kita sikapi perbedaan pendapat sebagai suatu anugrah, seringkali dan tanpa kita sadari kita menggunakan hak Tuhan untuk menilai ibadah seseorang, sah atau tidaknya, di terima / tertolak ibadah seseorang itu hak Allah SWT.

Boleh saja kita menvonis menghukumi sesuatu disaat kita sedang mendidik./ sedang mngajar  suatu pelajaran, misalnya dalam hal pelajaran Fiqih, ketika tidak sesuai dg ajaran fiqih yg kita pelajari tentu kita katakan tidak sah. akan tetapi ketika org lain yg diluar dr kaidah kitab fiqih yg sedang kita pelajari. tentunya tidak ada hak kita untuk memvonis / menghukumi mereka. dan jika ada perbedaan dan kita kurang ilmu untuk memahaminya , Seyogyanya kita bertanya kepada mereka yg di rasa sdh menguasai ilmunya.
Terkecuali kita termasuk orang orang yang sombong karena merasa sdh hafal ribuan hadits dan ribuan ayat Al-quran. lalu merasa tahu dan memahami segala hal.

Islam itu Rahmatan lil'alamin sikap baik tidak hanya kepada sesama muslim saja, Apalagi terhadap sesama muslim, Almuslimuuna Ikhwatun, (sesama muslim itu bersaudara), kal jasadil wahid (bagaikan satu tubuh,  Al-muslimuna akhul muslim.(islam bersaudara dengan islam).

Kebenaran, sah atau tidaknya suatu ibadah, diterima atau tertolak ibadah seseorang , semua milik dan hak paten Allah. wallahu a'lam




 wassalamu'alaikum warah matullahi wabarakatuh.

Acara makan makan (kepungan) yang bidah


Acara makan makan, kepungan atau selamatan identik dengan acara acara adat jawa (sedekah bumi,
panduanshalat.tk | Acara makan makan
maulidan, khataman qur'an) ini ternyata dianjurkan oleh Rasulullah SAW.

Dalam hal ini saya tidak membahas tentang susunan acara misalnya Tahlilan, Yasinan dll.

Tetapi kali ini Tentang Makan makan kepungan (makan bersama) yang dianjurkan oleh Rasulullah. SAW.

Banyak sekali riwayat tentang keutamaan dan berkah dari makan makan bersama dalam satu wadah ini.

Diantaranya :
Diriwayatkan oleh: Wahsiy bin Harb r.a Ia Berkata: "Ketika para sahabat di datangi Rasulullah SAW,"
 Para Sahabat berkata "Wahai rasulullah, Sesungguhnya kami sudah makan, Tetapi belum kenyang" Maka Rasulullah Bersabda " Mungkin kalian makan sendiri sendiri" Para sahabat menjawab "Benar ya Rasullullah"
Kemudian Rasulullah bersabda lagi "Berkumpullah kalian jika sedang makan, dan sebutlah Nama Allah Ta'ala! Niscaya Kalian mendapatkan Berkah di dalam makanan itu" (HR Abu-Daud)


  • Makan Dalam satu wadah bersama sama.
Dari Abu Hurairah r.a : Rasulullah Bersabda "makan 2 orang cukup untuk 3 orang, dan makanan 3 orang cukup untuk 4 orang."  (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Jabir r.a, Ia Berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW Bersabda "Makanan satu orang cukup untuk 2 orang, makanan 2 orang cukup untuk 4 orang, dan makanan 4 orang itu cukup untuk 8 orang." (HR Muslim)

Dari Abdullah bin Busrin r.a Ia berkata " Rasulullah Mempunyai bejana besar, yang di sebut Al-Gharra" yang biasa di angkat oleh 4 orang, 
Suatu saat, Ketika para sahabat selesai shalat Dhuha, diangkatlah bejana besar itu yang didalamnya berisi penuh makanan, 
Lalu para sahabat mengelilingi bejana itu, ketika sudah berkumpul banyak sahabat, 
Rasulullah SAW duduk bersila", kemudian datanglah seorang badui lalu bertanya: "Ada selamatan apakah ini?" Rasulullah SAW menjawab: "Sesungguhnya Allah Telah menjadikan aku sebagai hamba yang bermurah hati, dan Dia tidak menjadikan aku hamba yang sombong dan kejam". 
Kemudian Rasulullah bersabda :"Makanlah dari pinggirnya, dan biarkan yang ditengah, Niscaya kamu mendapatkan Berkah." (HR Abu-Daud)

Setelah membaca beberapa riwayat diatas Anda bisa menyimpulkan sendiri, Banyak berkah dan keutamaan dr Acara makan makan bersama (kepungan : jawa) disamping mempererat silatur rahmi antar sesama, Menghilangkan kesenjangan antara yang miskin dan yang kaya, dan masih banyak fadhilah lainnya.
Adapun kebanyakan tuduhan Bid'ah yang sering kita dengar adalah mengenai Acara Tahlilannya (susunan Acara) dan Insya Allah akan saya Bahas lain waktu.

sumber: kitab Riyadhus Shalihin.

#Bid'ah, #Bidah_Tahlilan, #Bid'ah_yasinan,

wal afwu minkum  Tsummas salamu'alaikum warah matullahi wabarakatuh.





Perlukah Kita Bermazhab ?

بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة

Perkembangan Islam makin hari makin pesat, sehingga semakin banyak pula orang yg belajar agama
dengan cara yg berbeda beda, mulai dr pesantren, sekolah yang berbasis agama seperti madrasah misalnya  hingga melalui sosmed, searching atau googling dan juga youtube.

Sehingga seringkali terjadi polemik dikalangan umat islam, antara pihak yang mengharuskan
mazhab dengan segolongan kaum muslimin yang menolak mazhab fiqih.
      Kita sebut saja kedua kelompok kaum muslimin ini dengan  golongan pro dan anti mazhab.
Dalam perjalanannya, kedua kelompok ini kemudian memunculkan kelompok-kelompok ekstrim.
Dari golongan pro mazhab  melahirkan satu kelompok yang memandang bahwa setiap orang wajib bermazhab, memilih 1 dari 4 mazhab dan tidak boleh keluar masuk.

Dia harus menerima semua rumusan mazhabnya dan dilarang mengikuti mazhab yang lain.
Sedangkan golongan anti mazhab, melahirkan golongan yang tidak kalah ekstrim.
Sebaliknya, mereka menganggap bermazhab adalah perbuatan bid’ah yang tercela.
Bermazhab adalah memecah - belah agama dan seterusnya.

Meski demikian alhamdulillah, tetap ada kaum muslimin yang mengikuti ulama’-ulama’ yang hanif bisa menyikapi masalah ini dengan baik.
Mereka mendudukkan perkara mazhab dengan benar, menghindari sikap fanatisme ataupun penolakan yang berlebihan, sehingga mereka mendapatkan faedah dari hal ini.

Sebelum kita membahas hal tersebut lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui sesuatu dari kondisi kaum muslimin sekarang ini. Dari segi keilmuan, secara garis besar kaum muslimin dapat dibagi menjadi  Tiga kelompok.yaitu :Mujtahid, Muttabi' dan orang awam (muqallid).


Kelompok pertama : Mujtahid

Seorang mujtahid adalah orang yang sudah menguasai Al-Qur'an, sunnah Rasulullah dan ilmu-ilmu syariah lainnya sehingga menjadikannya bisa berijtihad secara benar dalam menggali hukum berdasarkan dalil Al-Qur'an dan sunnah.
Apabila seseorang sudah mencapai tingkatan mujtahid, maka dia  dapat saja langsung merujuk kepada sumber agama tentang suatu masalah tanpa  harus melalui mazhab.

Karena dia telah memiliki kemampuan untuk menggali hukum dari Al-Qur`an dan sunnah oleh dirinya sendiri.
Dan para mujtahid sebenarnya masih dapat dibagi lagi menjadi beberapa tingkat.

Kelompok kedua : Muttabi'
Muttabi` yaitu orang-orang yang memegang suatu pendapat dari para ulama’ serta mengetahui dalil yang dijadikan landasan dari pendapat tersebut, tetapi jika diajukan padanya beberapa masalah yang diperselisihkan dan diminta untuk mengambil salah satu pendapat yang lebih kuat berdasarkan dalil, dia tidak mampu melakukannya.

Kelompok ketiga : kelompok kebanyakan
Yaitu orang-orang awam yang mengamalkan ajaran Islam, namun tidak mengetahui dalil-dalilnya, dia melaksanakan shalat shubuh dua rakaat, zhuhur empat rakaat dan sebagainya, mereka pun berpuasa di bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat dan sebagainya, sekalipun mereka tidak mengetahui dalilnya. Inilah yang dinamakan muqallid.

Bagi orang-orang dalam kelompok tiga ini hendaklah mengikuti saja petunjuk para ulama atau para ustadz yang dipandang baik (kredibel) dalam keilmuan, keshalihan dan ketakwaannya agar dia bisa selamat dari ketersesatan.
Di samping dia pun wajib meningkatkan kemampuan ilmunya hingga mengetahui dalil yang menjadi landasan kewajiban-kewajiban yang dia tunaikan.

Sesungguhnya untuk kelompok ketiga ini tidak tepat jika mereka disebut telah bermadzhab dengan madzhab tertentu, karena sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti (taqlid) kepada seseorang alim yang mereka pandang mumpuni dari sisi keilmuan dan keshalihannya.

Bermadzhab itu tepatnya ditujukan kepada kolompok nomor dua, karena mereka menjadikan madzhab imam mereka sebagai acuan dalam menyimpulkan sebuah hukum.
Karena madzhab sendiri secara bahasa artinya tempat pergi, atau tempat bertitik tolak, atau acuan dalam menyimpulkan berbagai hukum syariat.

Jika kita termasuk dalam kelompok ini, maka kewajiban kita adalah mencari ulama yang bisa dijadikan panutan dalam ibadah berdasarkan kriteria ketakwaan dan keilmuannya dengan senantiasa meningkat keilmuan kita dalam bidang syariat, sehingga yang tadinya tidak mengetahui dalilnya menjadi mengetahui dalilnya, (naik derajat menjadi golongan muttabi’).

Dan selanjutnya bisa membandingkan di antara dalil-dalil dari masalah yang diperselisihkan, sehingga kita tidak termasuk orang yang fanatik buta, tapi dapat menerima kebenaran dari mana saja datangnya selama kebenaran tersebut bisa dipertanggungjawabkan berdasarkan dalil-dalil yang kuat.


Haruskah kita bermazhab fikih yang empat ?

Harus diakui, bahwa kondisikaum muslimin terbanyaknya adalah sebagai kelompok ketiga dan ke empat (muttabi’ dan muqallid).
Dan sebagaimana dijelaskan, untuk kedua kelompok ini, diharuskan untuk mengikuti ulama’ karena keterbatasan ilmu yang di milikinya.
Jika tidak, hal tersebut akan sangat membahayakan bahkan bisa merusak agamanya.
Karena jika ia tidak mengikuti ulama’ ia akan mengikuti kejahilan dan hawa nafsunya dalam memahami agama.
Dan tidk syak (ragu ) lagi, bahwa mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali) adalah pendapat tentang masalah agama yang paling selamat untuk diikuti.
Di dalamnya telah berkumpul ratusan bahwa ribuan ulama ahli level tertinggi yang pernah dimiliki umat Islam, mereka bekerja siang malam untuk menghasilakn sistem fiqih Islami yang siap pakai serta user friendly.
Meninggalkan mazhab-mazhab itu sama saja bikin kerjaan baru, yang hasilnya belum tentu lebih baik.
Akan tetapi boleh saja kalau ada dari putera puteri Islam yang secara khusus belajar syariah hingga ke level yang jauh lebih dalam lagi, lalu suatu saat merumuskan mazhab baru dalam fiqih Islami.

Namun seorang yang tingkat keilmuwannya sudah mendalam semacam Al-Imam al-Ghazali rahimahullah sekalipun tetap mengacu kepada salah satu mazhab yang ada, yaitu mazhab As-Syafi''iyah.
Beliau tetap bermazhab meski sudah pandai mengistimbath hukum sendiri.
Demikian juga dengan beragam ulama besar lainnya seperti Al-Mawardi, An-Nawawi, Al-''Izz bin Abdissalam dan lainnya.

Beberapa Anggapan yang salah

  • Mazhab menyebabkan perpecahan.
Banyak orang salah sangka bahwa adanya mazhab fiqih itu berarti sama dengan perpecahan, sebagaimana berpecah umat lain dalam sekte-sekte.
Sehingga ada dari sebagian umat Islam yang menjauhkan diri dari bermazhab, bahkan ada yang sampai anti mazhab.
Penggambaran yang absurd tentang mazhab ini terjadi karena keawaman dan kekurangan informasi yang benar tentang hakikat mahzab fiqih.
Kenyataannya sebenarnya tidak demikian. Mazhab-mazhab fiqih itu bukan representasi dari perpecahan atau pereseteruan, apalagi peperangan di dalam tubuh umat Islam.

Kalau kita hendak membuat perumpamaan, mazhab tidak ubahnya dengan software bagi pc. Kita ketahui,sebuah pc ada yang menggunakan microsof Windows, ada yang menggunakan Apple Machintos, bahkan ada yang menggunakan Linux yang freeware. dan sekarang ada juga Android dalam Smartphone.

Semuanya berguna buat manusia sebagai sistem operasi PC, di mana masing-masing punya kelebihan sekaligus kekurangan.
Kalau dalam satu komunitas terdapat beberapa sistem operasi, bukan berarti di dalamnya telah terjadi perpecahan atau peperangan. Dan meski berbeda sistem operasi, masing-masing PC tetap bisa terkoneksi dalam satu jaringan.
  • Mazhab adalah musuhnya Sunnah
Mereka berkata :  Alangkah buruknya orang yang mengikuti pendapat mazhab dan menyia-nyiakan hadits shahih.
Apakah mereka mengutamakan mazhab dari ucapan Nabi ?
padahal Allah SWT telah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suara melebihi suara Nabi.” (al-Hujaraat:2)

Perkataan seperti diatas, bisa mengandung kebenaran namun juga bisa mengandung kesalahan fatal. Sisi benarnya, kita memang harus mendahulukan hadits dari pada perkataan manusia. Itu jelas dan tegas sekali, tidak ada seorang muslim yang hanif kecuali dia pasti akan mengakuinya.

Tapi pernyataan itu akan jadi sangat tidak benar dan inilah yang sering terjadi.
Yaitu ketika mereka menabrakkan ‘hadits’ dengan pendapat ulama’ mazhab. Padahal apa ? Sesungguhnya  dia sedang menabrakkan tafsiran si anu tentang hadits tersebut dengan mazhab !

 Bahkan, yang lebih buruk lagi jika perkataan mereka ini bermakna persangkaan bahwa para salaf jahil ilmu hadits atau bahkan dikatakan menuruti ro’yu  (akal pikiran) dan meninggalkan hadits. Ini adalah sebuah tuhmah (tuduhan) yang teramat keji kepada para ulama.
Seolah-olah ulama mazhab itu jahil karena tidak paham membedakan mana hadits shahih dan dhaif.

Rupanya di zaman sekarang ini ada oknum-oknum yang ingin menjatuhkan citra para ulama fiqih. Dan kemudian dikesankan kalau ulama fiqih itu tidak paham hadits, atau malah dituduh sebagai orang yang kerjanya memakai hadits yang dhaif.

Semua ulama mazhab sudah pasti mendahulukan hadits shahih. Bahkan para pendiri dan ulama seniornya banyak yangberkapasitas sebagai muhaddits. Tidak ada rumusnya kalau ada ulama, apalagi mujtahid mutlak semacam Imam Asy-Syafi'i misalnya, kok dibilang tidak mengerti hadits atau tidak mau menggunakan hadits shahih.

Sementara jarak waktu yang memisahkan antara beliau dengan Rasulullah SAW hanya terpaut 140 tahun saja. Sementara era keemasan para muhadditsin seperti Al-Bukhari dan lainnya, baru dimulai 200 tahun sepeniggal Rasulullah SAW.
Jadi era para imam mazhab yang empat itu lebih dekat ke Rasulullah SAW dari pada era para muhaddits besar.
Secara nalar yang sederhana, kemungkinan keselamatan periwayatan akan lebih baik kalau sanadnya tidak terlalu panjang.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa mazhab merupakan kebutuhan asasi untuk bisa kembali kepada Al-Quan dan As-Sunnah.
Kalau ada seorang bernama Mas Ucup, mas Hari, mas khalid dan mas Azis bersikap yang anti mazhab dan mengatakan hanya akan menggunakan Al-Quran dan As-Sunnah saja,
Sebenarnya mereka masing-masing sudah menciptakan sebuah mazhab baru, yaitu mazhab Al-Hariyyah, Al-Ucupiyyah, Al-Khalidiyyah dan Al-Azisiyyah dan seterusnya.

Sebab yang namanya mazhab itu adalah sebuah sikap dan cara seseorang dalam memahami teks Al-Quran dan As-Sunnah.
Setiap orang yang berupaya untuk memahami kedua sumber ajaran Islam itu, pada hakikatnya sedang bermazhab.
Kalau tidak mengacu kepada mazhab empat, maka dia akan mengikuti pendapat dari mazhab ulama’ sekarang, atau bahkan yang berbahaya lagi dia bisa bermazab kepada dirinya sendiri yang jahil.

Walhasil, tidak ada di dunia ini orang yang tidak bermazhab. Semua orang bermazhab, baik dia sadari atau tanpa disadarinya

  • Wajib bermazhab satu saja dan haram ‘kemana-mana’

Pendapat yang mengatakan bahwa seseorang wajib hukumnya bermazhab dan tidak boleh menerima pendapat dari luar mazhabnya termasuk perkataan yang berlebihan.
Jika hal ini dikaitkan dengan pertimbangan untuk disiplin ilmu, mungkin bisa dibenarkan.
Tetapi jika hal ini dijadikan sebagai kewajiban baru dalam agama, maka hal inilah yang harus diluruskan.
 Allah SWT dan Rasulullah SAW tidak pernah mewajibkan kita untuk berpegang kepada satu pendapat saja dari pendapat yang telah diberikan ulama.
Bahkan para shahabat Rasulullah SAW dahulu pun tidak pernah diperintahkan oleh beliau untuk merujuk kepada pendapat salah satu dari shahabat bila mereka mendapatkan masalah agama.

Maka tidak pada tempatnya bila kita saat ini membuat kotak-kotak sendiri dan mengatakan bahwa setiap orang harus berpegang teguh pada satu pendapat saja dan tidak boleh berpindah mazhab.

Bahkan pada hakikatnya, setiap mazhab besar yang ada itupun sering berganti pendapat juga.
Lihatlah bagaimana dahulu Al-Imam Asy-Syafi''i merevisi mazhab qadim-nya dengan mazhab jadid. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang masih menggantungkan pendapat kepada masukan dari orang lain.
Misalnya ungkapan paling masyhur dari mereka adalah:"Apabila suatu hadits itu shahih, maka menjadi mazhabku."
Itu berarti seorang imam bisa saja tawaqquf (belum berpendapat) atau memberikan peluang berubahnya fatwa bila terbukti ada dalil yang lebih kuat.
Maka perubahan pendapat dalam mazhab itu sangat mungkin terjadi. Bila di dalam sebuah mazhab bisa dimungkinkan terjadinya perubahan fatwa, maka hal itu juga bermakna bahwa bisa saja seorang berpindah pendapat dari satu kepada yang lainnya.
wallahu a'lam.

Akhirul kata "Kebenaran hanya milik Allah, dan kebodohan milik saya sendiri,  Dengan segala kerendahan hati, apabila terdapat kekurangan atau kesalahan, saya siap mengedit artikel diatas.  silahkan berikan tanggapan di kolom komentar.
Wallahul muwafiq ila aqwamith thariq wal afwu minkum 

ثمّ السّلام عليكم ورحمة الله وبركا تة

Hadits Shahih, Hadits Hasan dan Hadits Dhoif

السّلام غليكم ورحمه الله وبركا ته


Seringkali terdengar atau kita membaca kebanyakan mereka menggunakan dalil demi kebenaran atau kekuatan hukum dr ucapan atau tindakan mereka dengan dalil Hadits shahih dan mengatakan Hadits yg digunakan Orang lain yg tidak sepaham dengan mereka dengan mengatakan Hadits itu Lemah (Dhoif)


Sebenarnya Apa sih yang dimaksud Hadits Shahih dan Hadits Dhaif ? Didalam Ilmu Hadits, ada 3macam Jenis Hadits Tingkat tinggi.

Hadits Shahih, Hasan dan Hadits Dhaif. Kenapa saya mengatakan tingkat tinggi ?

Berikut sedikit Penjelasan tentang peringkat Hadits Hadits tersebut beserta bagian bagiannya:


     1. HADITS SHAHIH.


Kata Shahih الصحيح dalam bahasa diartikan sehat lawan dari kata as-saqim السقيم artinya orang yang sakit.
Jadi yang dimaksud hadits shahih adalah hadits yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat. Imam Al-Suyuti mendifinisikan hadits shahih dengan "hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perowi yang adil dan dhobit (kuat hafalan), tidak syadz (asing) dan tidak ber’ilat (cacat)".
 Defisi Hadits Shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafi’i memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujjah, yaitu:

  Pertama,
Apabila diriwayatkan oleh para perowi yang dapat dipercaya pengamalan agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur mermahami hadits yang diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan arti hadits bila terjadi perubahan lafadnya; mampu meriwayatkan hadits secara lafad, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadits secara lafad, bunyi hadits yang Dia riwayatkan sama dengan hadits yang diriwayatkan orang lain dan terlepas dari tadlis (penyembuyian cacat),

Kedua,
rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi. Imam Bukhori dan Imam Muslim membuat kriteria hadits shahih sebagai berikut:
  • Rangkaian perawi dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perowi pertama sampai perowi terakhir.
  • Para perowinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal siqat, dalam arti adil dan dhobith,
  • Haditsnya terhindar dari ‘ilat (cacat) dan syadz (janggal), dan
  • Para perowi yang terdekat dalam sanad harus sejaman.
a. Pembagian Hadits Shahih.
Para ahli Hadits membagi Hadits shahih kepada dua bagian, yaitu Shahih li-dzati dan Shahih li-ghorihi. 

Perbedaan antara keduanya terletak pada segi hafalan atau ingatan perowinya. pada Shahih li-dzatih, ingatan perowinya sempurna,
 sedang pada hadits Shahih li-ghorihi, ingatan perowinya kurang sempurna.

Hadits Shahih li-dzati
Yaitu hadits yang syarat-syarat hadits shahih tersebut benar-benar telah terbukti adanya.

Hadits Shahih li gharihi
Adalah hadits hasan li-dzatihi apabila diriwayatkan melalui jalan yang lain oleh perowi yang sama kualitasnya atau yang lebih kuat dari padanya.

b. Kehujjahan Hadits Shahih.
Hadits yang telah memenuhi persyaratan Hadits Shahih wajib diamalkan sebagai hujjah atau dalil syara’ sesuai ijma’ para uluma' hadits dan sebagian ulama ushul dan fiqih. 
Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu perkara, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah.

c. Tingkatan Hadits Shahih
Perlu diketahui bahwa martabat Hadits Shahih itu tergantung tinggi dan rendahnya ke-Dhabit-an dan keadilan para perowinya. Berdasarkan martabat seperti ini, para muhaditsin membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu:

Pertama, 
Ashah al-asanid yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. seperti periwayatan sanad dari Imam Malik bin Anas dari Nafi’ mawla (mawla = budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar.

Kedua,
Ahsan al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadits yang yang tingkatannya dibawash tingkat pertama diatas. Seperti periwayatan sanad dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas.

Ketiga,
Ad’af al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadits yang tingkatannya lebih rendah dari tingkatan kedua. seperti periwayatan Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah. Dari segi persyaratan peringkat Shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi 7 tingkatan, yang secara berurutan sebagai berikut:
  1. Hadits yang disepakati oleh bukhari dan muslim (muttafaq ‘alaih),
  2. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja,
  3. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja,
  4. Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan AL-Bukhari dan Muslim,
  5. Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja,
  6. Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja,
  7. Hadits yang dinilai shahih menurut ilama hadits selain Al-Bukhari dan Muslim dan tidak mengikuti persyratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.
  
2. HADITS HASAN.
    Secara bahasa, Hasan berarti al-jamal, yaitu indah. Hasan juga dapat juga berarti sesuatu sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. 
    Sedangkan para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan Hadits Hasan karena melihat bahwa ia merupakan pertengahan antara Hadits Shahih dan Hadits Dha’if, dan juga karena sebagian ulama mendefinisikan sebagai salah satu bagiannya.

    Definisi Tirmidzi
    Yaitu semua Hadits yang diriwayatkan, dimana dalam sanadnya tidak ada yang dituduh berdusta, serta tidak ada syadz (kejanggalan), dan diriwatkan dari selain jalan seperti demikian, maka dia termasuk Hadits Hasan.

    Definisi Ibnu Hajar: 
    Beliau berkata, adalah salah satu Hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna ke-dhabit-annya, bersanbung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz (janggal) maka dia adalah hadits shahih li-dzatihi, lalu jika ringan ke-dhabit-annya maka dia adalah Hadits Hasan li-dzatihi.
    Kriteria Hadits Hasan sama dengan kriteria Hadits Shahih.

    Perbedaannya hanya terletak pada sisi ke-dhabit-annya. yaitu Hadits Shahih lebih sempurna ke-dhabit-annya dibandingkan dengan Hadits Hasan. Tetapi jika dibandingkan dengan ke-dhabit-an perawi Hadits Dha’if, tentu belum seimbang, ke-dhabit-an perawi Hadits Hasan lebih unggul.

    • Macam-Macam Hadits Hasan
    Sebagaimana Hadits Shahih. yang terbagi menjadi 2 macam, Hadits Hasan pun terbagi menjadi 2 macam, yaitu Hasan li-dzati dan Hasan li-ghairi;

    Hasan Li-Dzati
    Adalah hadits yang telah memenuhi persyaratan Hadits Hasan yang telah ditentukan. pengertian Hadits Hasan li-dzati.

    Hasan Li-Ghairi
    Hadits Hasan yang tidak memenuhi persyaratan secara sempurna. dengan kata lain, Hadits tersebut pada dasarnya adalah hadits dha’if, akan tetapi karena adanya sanad atau matan lain yang menguatkannya (syahid atau muttabi’), maka kedudukan hadits dha’if tersebut naik derajatnya menjadi Hadits Hasan Li-Ghairi.

    • Kehujahan Hadits Hasan
    Hadits Hasan sebagaimana halnya  Hadits Shahih, meskipun derajatnya dibawah  Hadits Shahih adalah  Hadits yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau dalam beramal. 
    Para ulama  Hadits , Ulama ushul fiqih, dan fuqaha sepakat tentang kehujjahan  Hadits Shahih.


                 3.HADITST DHAIF

    Pengertian Hadits Dhaif 
    Hadits Dhaif  secara bahasa berarti Hadits yang lemah. Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa Hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW. 
    Dugaan kuat mereka Hadits tersebut tidak berasal dari Rasulullah SAW.

    Adapun para ulama memberikan batasan bagi Hadits Dhaif sebagai berikut : 
    Hadits Dhaif ialah Hadits yang tidak memuat / menghimpun sifat-sifat Hadits Shahih, dan tidak pula menghimpun sifat-sifat Hadits Hasan”.

    •  Macam-macam Hadits Dhaif.
    Hadits Dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : 
    Hadits Dhaif  karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan Hadits Dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan.

    Hadits Dhaif karena gugurnya rawi.
    Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi Hadits Dhaif yang disebabkan karena gugurnya rawi, antara lain yaitu :

    Hadits Mursal
    Hadits mursal menurut bahasa, berarti Hadits yang terlepas. 
    Para ulama memberikan batasan bahwa Hadits mursal adalah Hadits yang gugur rawinya di akhir sanad, yaitu rawi pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan Hadits dari Rasulullah SAW.
    Jadi, Hadits mursal adalah Hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah.

    - Hadits Munqathi’
    Menurut etimologi ialah Hadits yang terputus. Para ulama memberi batasan bahwa Hadits munqathi’ adalah Hadits yang gugur satu atau dua orang rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. 
    Bila rawi di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanad adalah tabi’in. 
    Jadi, pada Hadits munqathi’ bukanlah rawi di tingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in. 
    Bila dua rawi yang gugur, maka kedua rawi tersebut tidak beriringan, dan salah satu dari dua rawi yang gugur itu adalah tabi’in.

    - Hadits Mu’dhal
    Menurut bahasa, Hadits mu’dhal adalah Hadits yang sulit dipahami.
    Batasan yang diberikan para ulama bahwa Hadits mu’dhal adalah Hadits yang gugur dua orang rawinya, atau lebih, secara beriringan dalam sanadnya.

    - Hadits Mu’allaq
    Menurut bahasa, Hadits mu’allaq berarti Hadits yang tergantung. 
    Hadits ini ialah Hadits yang gugur satu rawi atau lebih di awal sanad atau bisa juga bila semua rawinya digugurkan ( tidak disebutkan ).

    Hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi.
    Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan. Seperti pendusta, fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing dapat menghilangkan sifat adil pada rawi. 
    Sering keliru, banyak waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan menyalahi rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith pada perawi. 
    Adapun cacat pada matan, misalkan terdapat sisipan di tengah-tengah lafadz Hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian yang berbeda dari maksud lafadz yang sebenarnya.
    Contoh-contoh Hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi :

    - Hadits Maudhu’
    Menurut bahasa, Hadits ini memiliki pengertian Hadits palsu atau dibuat-buat. 
    Para ulama memberikan batasan bahwa Hadits maudhu’ ialah Hadits yang bukan berasal dari Rasulullah SAW. 
    Akan tetapi disandarkan kepada dirinya. Golongan-golongan pembuat Hadits palsu yakni musuh-musuh Islam dan tersebar pada abad-abad permulaan sejarah umat Islam, yakni kaum yahudi dan nashrani, orang-orang munafik, zindiq, atau sangat fanatik terhadap golongan politiknya, mazhabnya, atau kebangsaannya .

    Hadits Maudhu’ merupakan seburuk-buruk Hadits dhaif. 
    Peringatan Rasulullah SAW terhadap orang yang berdusta dengan Hadits dhaif serta menjadikan Rasul SAW sebagai sandarannya. “Barangsiapa yang sengaja berdusta terhadap diriku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya dalam neraka”.

    - Hadits Matruk atau Hadits Mathruh.
    Hadits ini, menurut bahasa berarti Hadits yang ditinggalkan / dibuang. Hadits matruk adalah Hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang pernah dituduh berdusta, atau pernah melakukan maksiat, lalai, atau banyak wahamnya.

    - Hadits Munkar
    Secara bahasa berarti Hadits yang diingkari atau tidak dikenal. Hadits munkar ialah Hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan menyalahi perawi yang kuat.

    - Hadits Mu’allal
    Menurut bahasa, Hadits mu’allal berarti Hadits yang terkena illat (cacat). Ialah Hadits yang mengandung sebab-sebab tersembunyi, dan illat yang menjatuhkan itu bisa terdapat pada sanad, matan, ataupun keduanya.

    - Hadits Mudraj
    Haditst ini memiliki pengertian Hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian dari Hadits itu.

    - Hadits Maqlub
    Menurut bahasa, berarti Hadits yang diputarbalikkan. Para ulama menerangkan bahwa terjadi pemutarbalikkan pada matannya atau pada nama rawi dalam.

    - Hadits Syadz
    Secara bahasa, Hadits ini berarti Hadits ayng ganjil. 
    Ialah Hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dipercaya, tapi Hadits itu berlainan dengan Hadits-Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang juga dipercaya. Haditsnya mengandung keganjilan dibandingkan dengan Hadits-Hadits lain yang kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya.

    • Kehujahan dan Sikap Ulama Terhadap Hadits Dhaif
    Sebenarnya kalau kita mau jujur dan objektif, sikap ulama terhadap Hadits dhaif itu sangat beragam. Setidaknya kami mencatat ada tiga kelompok besar dengan pandangan dan hujjah mereka masing-masing. 
    Dan menariknya, mereka itu bukan orang sembarangan. Semuanya adalah orang-orang besar dalam bidang ilmu Hadits serta para spesialis.
      Maka posisi kita bukan untuk menyalahkan atau menghina salah satu kelompok itu. Sebab dibandingkan dengan mereka, kita ini bukan apa-apanya dalam konstalasi para ulama Hadits.

      1) Kalangan Yang Menolak Mentah-mentah Hadits Dhaif
      Bagi pemegang kelompok ini Hadits Dhaif itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nasehat atau peringatan. 
      Apalagi kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat  Hadits Dhaif  di hati mereka.
      Di antara mereka terdapat nama Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Bakar Al-Arabi, Yahya bin Mu’in, Ibnu Hazm dan lainnya. Di zaman sekarang ini, ada tokoh seperti Al-Albani dan para pengikutnya.

      2) Kalangan Yang Menerima Semua Hadits Dhaif
      Jangan salah, ternyata ada juga kalangan ulama' yang tetap menerima semua Hadits dhaif. 
      Mereka adalah kalangan yang boleh dibilang mau menerima secara bulat setiap Hadits dhaif, asal bukan Hadits palsu (maudhu’). 
      Bagi mereka, sedhai’f - dha’if-nya suatu Hadits, tetap saja lebih tinggi derajatnya dari akal manusia dan logika.
      Di antara para ulama yang sering disebut-sebut termasuk dalam kelompok ini antara lain Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Selain itu juga ada nama Al-Imam Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul Mubarak dan yang lainnya.
      Al-Imam As-Suyuthi mengatakan bawa mereka berkata, ‘Bila kami meriwayatkan Hadits masalah halal dan haram, kami ketatkan. Tapi bila meriwayatkan masalah fadhilah dan sejenisnya, kami longgarkan.”

      3) Kalangan Menengah
      Mereka adalah kalangan yang masih mau menerima sebagian dari Hadits yang terbilang Dhaif dengan syarat-syarat tertentu. 
      Yang berpendapat seperti ini adalah kebanyakan ulama, para imam mazhab yang empat serta para ulama salaf dan khalaf dan diikuti oleh jumhur kaum muslimin.
      Syarat-syarat yang mereka ajukan untuk menerima Hadits dhaif antara lain, sebagaimana diwakili oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga Al-Imam An-Nawawi rahimahumalah, adalah:

      - Hadits dhaif itu tidak terlalu parah kedhaifanya. Sedangkan Hadits dha’if yang perawinya sampai ke tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta, atau parah kerancuan hafalannya tetap tidak bisa diterima.
      - Hadits itu punya asal yang menaungi di bawahnya
      - Hadits itu hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan. 
      Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum.
      Ketika mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya Hadits itu, melainkan hanya sekedar berhati-hati. Wallahu a’lam
      Kebenaran hanya milik Allah, Kebodohan dan kekurangan adalah milik saya sendiri. Akhirul kata   والأفوامنكم, ثم السّلام غليكم ورحمه الله وبركا ته

      memaknai bid'ah

                      Sebagian kelompok agama dengan mudah memvonis bahwa segala hal yang tak pernah dilakukan di zaman Rasulullah adalah hal yang menyimpang alias bid’ah sesat. Tudingan ini perlu dijernihkan, selain lebih kerap membingungkan masyarakat juga tak selaras dengan fakta historis yang masih kita jalankan hingga kini serta dasar-dasar Sunah dan al-Qur’an sendiri yang diklaim sebagai pegangan utama.





       Allah subhanahu wata’ala telah memberikan modal dasar kepada kita berupa iman dan takwa. Dengan modal ini, kita mendapat derajat yang mulia dan juga mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat. Kerena itulah kita harus bersyukur dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya.

      Di dalam surat al-Hadid ayat 27, Allah SWT berfirman:


      وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ

      “Kami jadikan dalam hati orang- orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah. Padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah.”
      “maa katabnaa alaihim (Kami tidak mewajibkan perilaku rabbaniyyah itu untuk mereka)”

      Dalam Hadits riwayat al-Bukhari dijelaskan:


      كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي وَرَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ "، قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ: رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ، قَالَ: مَنِ المُتَكَلِّمُ, قَالَ: أَنَا، قَالَ:رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ

      “Pada suatu hari kami shalat di belakang Nabi SAW dan ketika beranjak dari ruku’ beliau melafalkan, ‘samiallahu liman hamidah’. Tiba-tiba ada seseorang yang mengucapkan, ‘Rabbana walakal hamdu, hamdan, tayyiban mubaarakan fih. Usai shalat, Nabi SAW bertanya, ‘Siapa yang mengucapkan kalimat itu tadi? ‘Saya’ Jawab salah seorang sahabat. ‘Saya melihat lebih dari tiga puluh malaikat berlomba-lomba mencatatnya terlebih dahulu’ Imbuh Nabi SAW.” (HR: al-Bukhari)


      Rasulullah mengajarkan kepada sahabat ini bacaan tersebut. Sahabat sendiri yang mengada-ada dan memulainya terlebih dahulu, tetapi Rasulullah tidak mengatakan, “Haram kamu melakukan apa yang tidak saya lakukan. Haram kamu membaca kamu membaca apa yang tidak pernah saya baca”. Tetapi justru Rasulullah memberikan orang ini kabar gembira karena ada 30 lebih malaikat yang berlomba-lomba untuk mencatatnya lebih dahulu.

      Dari ayat Al-Qur’an dan sabda Rasulullah tadi, dapat diambil kesimpulan bahwa tidak serta merta sesuatu yang baru, yang tidak pernah dilakukan Rasulullah, tidak pernah dilakukan para Sahabat, dikatakan sesat atau bid’ah dhalalah. Sesuatu yang sesat dan pada akhirnya akan masuk neraka.
      Tapi timbangan bahwa sesuatu dikatakan atau tidak sesat adalah timbangannya Al-Qur’an atau sunah Rasulullah.

      Rasulullah dalam Hadits sahih yang diriwayatkan Imam Muslim mengatakan:

      مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

      Barang siapa yang memulai dalam ajaran agama Islam ini sesuatu yang baik, maka dia akan mendapatkan pahala dan pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa yang memulai ajaran agama dengan sesuatu yang tidak baik, maka dia akan mendapatkan dosa orang-orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR: Muslim)


      Berdasarkan Hadits ini, Imam Syafii radiuallahu anhu, seperti yang dikutip oleh Asy-Syatibi, mengatakan: “Apabila perkara baru yang muncul setelah Rasulullah bertentangan dengan al-Qur’an, Sunah Rasul dan para sahabatnya, dan ijma’, maka ini termasuk perkara baru yang tercela. Namun sebaliknya, ia tidak bisa dikatakan perkara baru yang tercela bila tidak bertentangan dengan sumber-sumber hukum tersebut.

      Imam Syafii mengatakan bahwa patokan buruk atau tidaknya sesuatu itu bukan berdasarkan apa yang pernah dilakukan Rasulullah dan para sahabat saja, tetapi harus merujuk kepada al-Qur’an dan Sunah Rasulullah.



      Pasalnya ada perbuatan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah, tetapi para sahabat mengerjakannya dan diikuti oleh banyak orang yang hidup setelahnya hingga saat ini.

      Dalam sahih Bukhari, Imam Syafii menyebutkan shalat Tarawih berjamaah pertama kali dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Sebelumnya, Rasulullah mengerjakannya sendiri-sendiri, tidak berjamaah. Ketika masa Khalifah Abu Bakar, shalat Tarawih juga sendiri-sendiri.



      Tapi kemudian, ketika masa Khalifah Umar bin Khattab, beliau melihat para sahabat shalat sendiri, maka beliau kumpulkan dalam satu imam. Beliau menunjuk sahabat Ubaid bin Ka’ab untuk menjadi imam. Setelah itu, beliau mengatakan “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Sebaik-baik perkara yang baru, yang tidak ada sebelumnya adalah ini”. Umar bin Khattab, tidak memaknai apa yang tidak dilakukan Rasulullah SAW pasti sesat.



      Buktinya beliau melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah dan sampai sekarang kita melakukan shalat Tarawih secara berjamaah.

      Bagaimana pun juga, para ulama tidak memahami bahwa segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabat adalah bid’ah yang sesat. Ada sesuatu yang baru muncul setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan sampai sekarang kita masih melakukannya, seperti penulisan tanda titik dan harakat al-Qur’an, namun tidak dikatakan sesat oleh banyak ulama.

      Penambahan titik dan harakat ini dilakukan pertama kali oleh Yahya bin Ya’kub, tabiin yang hidup setelah masa sahabat.

      Penjelasan ini disebutkan Al Imam Abu Dawud dalam kitabnya Darul Masohib. Pada bagian bahasan sejarah mushaf dijelaskan bahwa Yahya bin Ya’kub adalah orang yang pertama kali menuliskan tanda titik dalam Qur’an.



      Ketika Rasulullah meminta para Sahabat menuliskan Qur’an, tidak ada titiknya. Begitu juga pada saat Khalifah Umar membagikan Al-Qur’an ke beberapa tempat, juga belum ada titiknya.

      Penulisan tanda titik dalam Qur’an dimulai pada masa tabiin dan sampai sekarang kita masih membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakatnya serta dilengkapi dengan nomor ayat. Hakikatnya bentuk al-Qur’an yang semacam ini tidak pernah ada pada masa Rasulullah SAW. Hal ini berati patokan kebenaran itu adalah al-Qur’an dan Sunnah.

      Sebagaimana yang ditegaskan al-Qur’an:

      وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

      Apa yang diperintahkan oleh Rasullllah, maka kerjakanlah dan tinggalkanlah segala yang dilarang Rasulullah SAW” (QS: Al-Hasyr ayat 7).
      Sesungguhnya para ulama tidak mengatakan bahwa setiap bid’ah itu pasti sesat. Mereka yang berpendapat bahwa setiap bid’ah sesat selalu berdalil dengan Hadits:

      فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَة

      “Sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat”

      Ibnu Hajar al-Atsqalani menerangkan bahwa Hadits ini memiliki redaksi umum yang bermakna khusus.Kullu bid’atin dhalalah dimaknai dengan sebagian bid’ah sesat, bukan semua bid’ah sesat.
      Pemaknaan kalimat ini hampir sama dengan firman Allah SWT tentang adzab kaum Aad:

      تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ

      “Yang menghancurkan segala sesuatu........” (QS: al-Ahqaf ayat 25)
      Meskipun ayat ini menggunakan kata kulla syai’, bukan berati maknanya menghancurkan semua sesuatu, karena jika dipahami seperti ini maka berati pada waktu itu sudah terjadi kiamat. Padahal maksud sebenarnya adalah angin menghancurkan setiap sesuatu yang dilewatinya saja.
      Sehingga makna kullu di sini dimaknai dengan sebagian besar hancur.

      Dengan demikian, ketika Rasul mengatakan, kullu bid’atin dhalalah, maknanya bukan berati semua bid’ah sesat, tetapi dimaknai dengan sebagian besar bid’ah yang sesat.
      Terlebih lagi, tidak mungkin satu Hadits bertentangan pemaknaannya dengan Hadits yang lain.

      Kalau Hadits yang pertama membolehkan melakukan sesuatu yang baru dan dianggap baik, bahkan orang yang melakukannya mendapatkan pahala dan begitu pula dengan orang yang mengikutinya, maka Hadits berikutnya kullu bid’atin dhalalah, tidak bisa dimaknai dengan segala sesuatu yang baru adalah sesat dan orang yang melakukannya akan masuk neraka.
      Para ulama mengatakan segala sesuatu ditimbang menurut ukuran syara’,al-Qur’an dan Sunah.

      Diantara perkara baru adalah peringatan Maulid Nabi SAW. Karenanya penting bagi kita untuk memaknai bid’ah, sehingga kita bijaksana dalam menyikapi sesuatu yang muncul baru dan sudah menjadi tradisi umat Islam dari generasi ke generasi.

      Mulai dari abad ketujuh sampai abad kelimabelas, kebanyakan umat Islam melakukannya. Maka kalau seandainya dikatakan bid’ah yang sesat dan masuk neraka,
      Maka tidak akan pernah para ulama menulis tentang kebolehanya. Ada ratusan lebih para ulama yang membolehkan maulid Nabi, bahkan Hadratus syekh KH Hasyim Asy’ari dalam kitabnya At Tanbihan Al Wajibat, juga membolehkannya.

          Dalam hal ini saya lebih setuju :
       - Amal kebaikan itu di bolehkan selama tidak ada larangan dalam alqur'an dan sunnah.
       - Tidak semua amal kebaikan yg tidak dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW itu sesat. 
       - Dan semua amal kebaikan bisa jadi ibadah, jika dibarengi dengan niat yang benar. tentunya dalam mencari atau mengharap ridlo Allah SWT.
      - Persoalan sesat dan tidak sesat itu, sejatinya adalah haknya Allah SWT yang menentukan.

            Mudah-mudahan, kita dapat memahami sabda Rasulullah dan memaknai Al-Qur’an dengan benar dan mudah-mudahan, kita termasuk orang yang mengikuti Sunah Rasulullah, dan mudah-mudahan kita dijauhkan dari bid’ah-bid’ah yang menyesatkan. Amiiin ya rabbal alamiin.

      sumber: nu.or.id

      Beberapa hal yang paling greget di akhir tahun 2015

      Beberapa peri[h]stiwa di tahun 2015, Terutama yang masih terngiang adalah peristiwa yang lain dr yang lain. Bukan saja karena peristiwa baik atau buruknya yg tentu saja tergantung dari cara pandang yang berbeda. walau sedikit telat sebenarnya saya menulis ini , ya semua karena disadari atau tidak, Tahun baru sangat berpengaruh terhadap kehidupan kita, terlepas dari fatwa fatwa haram / halalnya kita menyikapi tahun baru, tapi bukan ini dongs yang kita bahas..

      Yuk! kita mulai dari yang sampai saat ini masih anget-anget kuku:
      Campur Racun FPI vs Bupati Purwakarta.

      Entah dari mana asal muasal persoalannya hingga saling lapor ke polisi, Kang dedi [sapaan akrab Bupati Purwakarta] dengan tuduhan penistaan Agama, karena banyak disetiap pidatonya tidak mengawali dengan Assalamu'alaikum tetapi dengan Sampurasun atau ketua FPI dengan tuduhan makar dan pelecehan budaya dengan plesetan campur racun. Sehingga terciptalah larangan ketua FPI sambangi tanah sunda, lalu sweeping terhadap kang Dedi di TIM. Terlepas dari siapa yang benar, hanya Allah lah yang tahu. kita sebagai masyarakat sedikit terhibur juga dengan menonton youtube, ikut ber twitwar dengan adu argument di berbagai status maupun komentar di facebook.

      Nikita Mirzani yang siap pakai

      Tertangkapnya Nikita Mirzani dan Puty Revita karena jebakan Polisi, tentang bagaimana media-media mendramatisir berita tersebut. dengan menggunakan kata "siap pakai, telanjang, bugil" seakan akan pembaca tidak bisa lagi menggunakan imajinasi dan logika, ketika seorang lelaki dan perempuan berhubungan sek dikamar mereka tidak perlu telanjang atau bugil.

      Tentu saja mereka menulis dengan mendramatisir untuk mendatangkan pengunjung atau klik, belum lagi bagaimana reaksi masyarakat wabil khusus para netizen, mereka menghujat habis-habisan, seakan Nikita bukan lagi perpempuan yang punya martabat, sementara mereka yang menhujat adalah ahli surga.

      Barangkali memang beginilah masyarakat barbar seperti di Indonesia: dosa orang lain direcoki, tapi dosa sendiri dilupakan sambil haha-hihi. Apalagi kalau dosa itu sudah berhubungan dengan selangkangan dengan figur utamanya seorang perempuan, wuidih, semua orang mendadak (merasa) bersih dari segala dosa. Semua orang adalah juru tafsir agama.

      Bongkar Prostitusi Artis, Hal barukah ini ?, Padahal sebenarnya Prostitusi artis bukanlah barang baru, seakan sudah menjadi modus klasik.
      Mustahil dongs kalau Polisi ga paham dunia yang satu ini, Lha wong kita yang bukan Intel saja tahu,, ya kan.. ? saya sendiri denger hal begituan dari tahun 90an sewaktu di jakarta dulu sering denger koq, ada mba' ET inget ga iklan vitamin C, ah.. pokoknya gitu deh..
      Lalu pertanyaanya kenapa ga dari dulu kan ya.. diberantas selalu di cicil .

      Seks memang nafsu yang paling “sosial”. Secara naluriah [jangan ngomong moral dulu], kita bisa “turut bergembira” melihat orang lain yang sedang memenuhi nafsu seksnya. Kita punya hasrat kesenangan walaupun sekadar untuk menontonnya. Itulah kenapa ada pornografi. Ada industri bokep dengan omzet jutaan dolar. Ada Vivid. Ada Miyabi. Ada Enny Arrow. Ada 17tahundotcom, ceritaserudotcom, ceritadewasadotcom, pondokputridotcom, dan sebagainya [apal banget sih ya?].

      Nah, karena saking sosialnya nafsu yang satu itu, ia jadi begitu canggih buat menyedot perhatian. Ia jadi empuk sebagai bahan berita dengan judul-judul menggemaskan, dan juga legit buat stok pengalihan isu, yang bisa dengan gampang ditembakkan sewaktu-waktu. Sebab, selama kita menyimak berita heboh terkait seks, sejujurnya kita tidak cuma sedang mengupdate berita. Namun, imajinasi kita juga… ehm, diajak bertamasya.

      Makanya, ketika semua ketawa ngakak mendengar pernyataan resmi-tapi-norak dari kepolisian kemarin itu, saya yang arif dan waskita ini justru lekas-lekas ambil kuda-kuda, penuh sikap waspada. Bayangkan saja, “Dia (Nikita Mirzani) sudah dalam keadaan siap dipakai,” kata Kombes Pol Umar Fana dari Bareskrim Polri.

      Sudah banyak yang menduga, permainan sesungguhnya sekarang ini dilancarkan oleh mesin raksasa bernama Freeport Indonesia, yang kemarin dipantau oleh jutaan pasang mata tapi lantas sepi gara-gara Nikita. Atau oleh orang-orang besar di Jakarta yang ketar-ketir karena “tidak bersih lingkungan” gara-gara berisik rekaman di MKD. atau… ya orang-orang MKD sendiri.

      Sementara, pada saat yang bersamaan, para komentator cum hakim ini tidak menuntut pengungkapan nama tiap pejabat pengguna jasa prostitusi (artis) yang konon juga sudah dikantongi polisi.

      Atau jangan-jangan para pejabat ini dilindungi oleh undang-undang perlindungan konsumen?
      nah loh!, jadi panjang kan kalau sudah bahas seputar situ .

      Pray For Paris

      Ini aksi terorisme yang keji dan sama sekali tidak bermoral. Tapi saya tidak akan membahas peristiwa itu, saya ingin mengingatkan puan dan tuan tentang debat Pray For Paris yang terjadi dan mewarnai linimasa kita berhari-hari. Peristiwa ini menunjukkan bahwa di sini, di negeri ini, bersolidaritas sekalipun mesti taat aturan. Jadi kalau belum bisa baris-berbaris dengan rapi, jangan coba-coba bersolidaritas.

      Cermati saja rentetan kalimat nyinyir yang ditujukan kepada mereka yang mengganti foto profil Facebook-nya dengan bendera Prancis: “Kalau Paris saja pada solidaritas, waktu warga Papua dibunuhi tentara pada kemana?”, “Setiap saat rakyat Palestina, Suriah dll terkena bom, kok tidak bersolidaritas?”, dan seterusnya, dan sebagainya.

      Sekali lagi, akankah kita mesti bersuara untuk setiap isu, bersolidaritas untuk semua peristiwa, berkomentar untuk setiap kasus kemanusiaan, baru anda akan dapat legitimasi untuk bertindak sesuai kehendak (nurani) Anda.

      Kematian Angeline

      Angeline, gadis kecil yang diculik, disiksa, diperkosa, dibunuh, dan akhirnya dikuburkan di halaman belakang rumahnya sendiri. Ketika berita Angeline diculik dan belum ketahuan di mana keberadaannya, banyak orang beramai-ramai bersimpati dan menyalahkan orang tuanya yang tidak bertanggungjawab. Begitu juga ketika ia ditemukan sudah meninggal. Banyak orang mengecam dan menjadi begitu murung dengan simpati seputar Angeline.

      Sayangnya, dari sana juga menunjukkan hal yang lain. Ketika ada kekerasan sampai pembunuhan, orang ramai-ramai mengecam di media sosial. Tapi ketika kekerasan terhadap anak terus terulang, sebagian kita kadang memilih diam diri bahwa urusan semacam itu bukan urusan kita alias urusan rumah tangga orang lain. Baru ketika seseorang sudah menjadi korban dan meninggal, ramai-ramai simpati muncul. Cermati saja berita-berita kekerasan terhadap anak yang berulang kali terjadi.

      Foto Jokowi dan Suku Anak Dalam

      Di republik ini, foto-foto Jokowi ketika mengunjungi Suku Anak Dalam [SAD] jauh lebih menjadi pokok perdebatan ketimbang tawaran Jokowi untuk merumahkan SAD dan kaitannya dengan semakin habisnya hutan tempat tinggal mereka. Latar belakang pertemuan di perkebunan sawit pun sedikit sekali menjadi bahan diskusi. Yang didebatkan cuma foto-foto Jokowi dan warga SAD yang diduga sudah diskenariokan terlebih dahulu.

      Setelah saya pikir-pikir, hasrat untuk berkomentar di republik ini memang lebih tinggi ketimbang hasrat untuk berpikir. Padahal kalau mau bersolidaritas dan berempati kepada warga SAD, kebijakan Jokowi tersebut bisa dikritik, semakin habisnya hutan tempat tinggal mereka bisa dipersoalkan, kian meluasnya kebun sawit juga bisa digugat. Tapi, ya memang, sih, bersolidaritas ke suku pedalaman tidak lebih seksi ketimbang mencaci Jokowi yang plonga-plongo di mana setiap hembusan nafasnya adalah lahan untuk mendengki.

      itu saja yang bisa kutulis, walau sudah terasa telat, tetapi luapan atau ungkapan mesti tersalurkan,
      terlepas dari berbagai peristiwa demi peristiwa di tahun kemaren hendaklah pelajaran buat kita untuk menyikapi segala hal, akankah kita selalu menyalahkan orang lain dan menganggap kitalah yang berhak menghuni surga.

      ide sebagian di ambil dari :
      mojok
      mohon maaf jika ada kesalahan dan kekurangan, saya hanyalah manusia biasa yang tak luput dari salah dan dosa. wal afwu minkum tsummas salam alaikum wr.wb.

      Selamat Natal!! Boleh atau Tidak?


      Mengucapkan Selamat Natal itu Haram atau Tidak?
      yang terbayang oleh kita tentu ini terkait dengan toleransi antar umat beragama, Namun bagaimana kah toleransi yang dibolehkan dan yang diharamkan oleh Islam,

      Banyak ulama' yang berpendapat berbeda dalam hal ini, tentu saja bukan tanpa alasan atau dalil yang mereka yakini, Mari kita tengok sejarah peradaban sosial perkembangan Islam dan Kristen.

      Di masa lalu umat Islam jauh lebih kuat dan besar dari umat Kristiani, Bahkan Tempat-tempat dianggap bersejarah lahirnya Nabi Isa A.S sejak jaman Khalifah Umar bin khattab R.A sudah berada di tangan Umat Islam, bahkan hingga pertengahan abad 20.

      Sebaliknya , Umat Kristiani tidak pernah lebih besar dari umat Islam, Kemajuan barat di 2 abad terakhir ini tidak bisa diklaim sebagai prestasi umat Kristen, Justru sebaliknya Negara-negara barat maju peradabannya ketika mereka terbebas dari kungkungan Gereja.

      Sepanjang 14 abad, pandangan muslim kepada pemeluk agama Nasrani agak berbeda dengan masa sekarang ini, Di masa kejayaan umat islam dulu, umat nasrani di pandang sebagai umat minoritas, lemah, tak berdaya dan perlu di kasihani.
      Bahkan di Eropa yang sebagian di kuasai umat Islam saat itu, begitu banyak umat kristiani yang di lindungi dan di subsidi oleh pemerintah Islam saat itu.

      Alqur'an Sebagai pemecah belah umat bag -1

      Alqur'an dan Alhadist sebagai Rujukan Perbedaan, Menyalahkan,  Penyesatan dan Pengkafiran Umat.
                  Alqur'an adalah kitab pedoman umat islam yang merupakan puncak dan penutup wahyu Allah diperuntukkan bagi manusia dan termasuk bagian dari rukun iman, disampaikan oleh malaikat jibril kepada nabi Muhammad SAW sebagaimana terdapat surat Al-Alaq (1-5)

      Alqur'an Sebagai pemecah belah umat bag -2

      Sambungan Dari Sebelumnya

               Di Arab kata jalabiyyah bermakna pakaian luar yang menutupi segenap anggota badan dari kepala hingga kaki perempuan dewasa.  Namun dalam pembicaraan sehari-hari di Indonesia, kata "jilbab" diiartikan kerudung yang hanya menutupi kepala, biasa juga dinamakan kerudung (hijab).

               Namun sesungguhnya pada masa Nabi s.a.w. jilbab itu adalah kain lebar yang meliputi seluruh tubuh (tidak hanya kepala) sebagai lapisan paling luar, dan biasanya hanya dipakai pada waktu keluar rumah. Lebarnya bisa selebar sprei atau taplak meja.

              Ibnu Hazm mengatakan,"Jilbab menurut bahasa Arab yang disebutkan oleh Rasulullah s.a.w. adalah pakaian yang menutupi seluruh badan, bukan hanya sebagiannya." Sedangkan Ibnu Katsir mengatakan, "Jilbab adalah semacam selendang yang dikenakan di atas khimar yang sekarang ini sama fungsinya seperti izaar (kain penutup)"

      Mungkin kita bisa melihat sebagaimana dilakukan oleh sebagian perempuan Arab dan Iran di masa kini, dimana mereka telah menggunakan pakaian qoomish (long dress ) di dalam, lengkap dengan (khimar) kerudungnya namun ketika keluar rumah mereka biasa memakai lagi semacam kain sangat lebar (selebar selimut atau sprei) yang menyelimuti seluruh tubuh dari kepala hingga kaki.

      Celana panjang (isbal)
      Pada masa Rasulullah s.a.w. dahulu. para raja dan bangsawan di daerah Jazirah Arabia pun demikian pula terbiasa memanjangkan kainnya, jubahnya atau selendangnya untuk menunjukkan kemegahan, kebesaran, derajatnya yang lebih tinggi dari rakyat jelata, maka jelas memanjangkan kain pada umumnya diniatkan untuk kesombongan.

      Hal ini bisa kita lihat pada hadits Abu Hurairah r.a. berikut ini :
      Telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah bin Mu’adz; Telah menceritakan kepada kami Bapakku; Telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Muhammad yaitu Ibnu Ziyad ia berkata; "Aku pernah mendengar dari Abu Hurairah, ketika dia melihat seorang lelaki yang menyeret kainnya sambil menghentakkan kakinya ke tanah dan ternyata orang tersebut adalah seorang Raja Bahrain, dia berkata; 'Amir datang! Amir datang! Rasulullah s.a.w. bersabda: "Allah tidak akan melihat kepada orang yang memanjangkan kainnya karena sombong." (H.R. Muslim No. 3893)

      Pada hadits jelas dinyatakan keharaman sadl (memanjangkan kain hingga menyeret ke tanah) dikarenakan adanya illat kesombongan dan yang dilihat Abu Hurairah r.a. memanjangkan kainnya adalah Raja Bahrain. Bahkan ia tak hanya memanjankan kainnya melainkan juga sengaja berjalan dengan menghentakkan kaki agar diketahui kedatangannya. Maka jelas ini adalah sebuah kesombongan.

      Perkataan Hadits Yang Terpotong
      Ada beberapa fakta hadits dan atsar mengenai masalah isbal yang tidak secara jujur dikemukakan di hadapan publik (khususnya oleh orang-orang yang memutlakkan keharaman isbal). Dan beberapa hadits dan atsar juga terpotong (atau sengaja dipotong) pada bagian lanjutannya yang menunjukkan tidak haramnya isbal jika tidak ada niat karena sombong.

      Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus telah menceritakan kepada kami Zuhair telah menceritakan kepada kami Musa bin 'Uqbah dari Salim bin Abdullah dari Ayahnya r.a.dari Nabi s.a.w.beliau bersabda: "Siapa yang menjulurkan pakaiannya (hingga ke bawah mata kaki) dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari Kiamat kelak." Lalu Abu Bakar berkata; "Wahai Rasulullah, sesungguhnya salah satu dari sarungku terkadang turun sendiri, kecuali jika aku selalu menjaganya?" lalu Nabi s.a.w.bersabda: "Engkau bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong." (H.R. Bukhari Kitab Al Libas Bab Man Jarra Izarahu min Ghairi Khuyala’ Juz. 18, Hal. 84 No. 5338, Ahmad, Juz. 12, Hal. 464, No. 5927)

      Telah menceritakan kepada kami An Nufail berkata, telah menceritakan kepada kami Zuhair berkata, telah menceritakan kepada kami Musa bin Uqbah dari Salim bin Abdullah dari Bapaknya ia berkata, "Rasulullah s.a.w.bersabda: "Barangsiapa menjulurkan kainnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat." Abu Bakar berkata, "Sesungguhnya salah satu ujung pakaianku ada yang menjulur, padahal aku telah berjanji untuk tidak melakukannya!" beliau bersabda: " kamu bukan termasuk orang yang melakukannya karena sombong." (H.R. Abu Daud No. 3563) Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini shahih.

      Telah mengabarkan kepada kami Ali bin Hujr ia berkata; telah menceritakan kepada kami Isma’il ia berkata; telah menceritakan kepada kami Musa bin Uqbah dari Salim dari Bapaknya berkata, "Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barangsiapa memanjangkan kainnya karena sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat." Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, terkadang salah satu dari kainku turun, kecuali jika aku selalu menjaganya?" Lalu Nabi s.a.w.bersabda: "Engkau bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong." (An Nasa’i, Kitab Az Zinah Bab Isbal al Izar, Juz. 16, hal. 143, No. 5240.) Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini shahih.

      Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi telah memberitakan kepada kami Ismail yakni Ibnu Ja’far telah mengabarkan kepadaku Musa bin Uqbah dari Salim bin Abdillah bin Umar dari bapaknya, bahwa Nabi s.a.w. bersabda: "Barangsiapa yang menjulurkan kainnya karena sombong, Allah tidak akan melihatnya kelak pada hari kiamat." Kemudian Abu Bakar berkata, "Salah satu dari ujung kainku selalu menjulur kecuali jika saya selalu mengawasinya!."Nabi s.a.w. lantas menjawab: "kamu bukanlah termasuk mereka yang berbuat demikian karena sombong." (H.R. Ahmad No. 5927)

                Telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq telah mengabarkan kepada kami Ma’mar dari Zaid bin Aslam saya mendengar Ibnu Umar berkata, "Siapa yang menjulurkan kainnya melebihi mata kaki karena sombong, Allah tidak melihatnya pada hari kiamat." Telah berkata Zaid, Ibnu Umar menceritakan kisah, Rasulullah s.a.w. pernah melihatnya memakai kain baru dan terdengar suara gemerisik kainnya. Kontan beliau berkata, "Siapakah ini?" Ibnu Umar menjawab, "Saya Abdullah bin Umar." Beliau berkata, "Jika kamu benar-benar Abdullah bin Umar, angkatlah kainmu." Ibnu Umar berkata, “Saya pun mengangkatnya." Beliau berkata, "Tambah (angkat lagi)." Ibnu Umar berkata, "pun mengangkatnya lagi hingga pertengahan betis." Kemudian dia (Rasulullah s.a.w.) menoleh kepada Abu Bakar dan berkata, “Barangsiapa yang menjulurkan kainnya karena sombong, Allah tidak melihatnya kelak pada hari kiamat." Lalu Abu Bakar r.a. berkata, "kainku terkadang merosot." Maka Nabi s.a.w. bersabda: "Kamu tidaklah termasuk dari mereka" (H.R. Ahmad No. 6056)

                 Telah menceritakan kepada kami ‘Attab telah menceritakan kepada kami Abdullah -yakni Ibnu Al Mubarak- telah mengabarkan kepada kami Musa bin ‘Uqbah dari Salim bin Abdullah dari Abdullah bin Umar ia berkata, "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa menjulurkan pakaiannya karena sombong, niscaya Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat." Abu lalu Bakar berkata, "Salah satu ikatan bajuku sering terlepas kecuali aku mengikatnya lagi? ‘ Maka Rasulullah s.a.w.bersabda: "Sesungguhnya engkau tidak termasuk orang yang melakukannya karena sombong." Musa berkata, "Aku bertanya kepada Salim, "Apakah Abdullah menyebutkan, ‘Barangsiapa menjulurkan kain sarungnya? ‘ Salim menjawab, "Aku tidak mendengarnya menyebutkan kecuali ‘pakaiannya'." (H.R. Ahmad No. 5098)

               Pada hadits-hadits di atas jelas sekali dijelaskan oleh Rasulullah s.a.w. bahwa jika isbal itu tidak dilakukan karena niat sombong maka hal itu tidaklah mengapa. Namun hadits-hadits ini jarang ditampilkan kepada publik, dan jarang dikutip pada pembahasan masalah isbal. Kalaupun dikutip maka dipotong hanya sampai pada "Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat". Sedangkan kelanjutannya pertanyaan Abu Bakar r.a. yang memanjangkan kain, maka itu tidak dikutip.


           Hal ini sekaligus membantah sebagian kalangan yang mengatakan bahwa penyebutan "karena sombong" itu bukanlah menunjukkan illat (alasan / latar belakang diberlakukan hukum itu) melainkan karena isbal itu bersifat sombong. Padahal bagi orang yang jernih akalnya perkataan "karena sombong" jelas sekali menunjukkan "sebab" dan bukan menunjukkan "sifat". Perkataan "karena" jelas merupakan jawaban dari pertanyaan "mengapa". Maka "karena" jelas menunjukkan "sebab" dilarangnya isbal.




      Pendapat Orang Yang Mengatakan Bahwa Sombong Di Situ Bukan illat Tapi Sifat

               Sebagian orang mengatakan bahwa penyebutan "karena sombong" di situ bukanlah menunjukkan illat (alasan / latar belakang diberlakukan hukum) melainkan menunjukkan "sifat". Maka mereka mengatakan memanjangkan kain itu dilarang karena dianggap bersifat sombong. Maka menurut mereka, perkataan "karena sombong" di sini bermaksud memberikan keterangan dan penekanan bahwa memanjangkan kain itu menunjukkan kesombongan

             Ibnu Hajar Asqolani mengutip perkataan Ibnul ‘Arabi (termasuk ulama madzhab Maliki) berkata: "Tidak boleh bagi seorang laki-laki membiarkan pakaiannya hingga mata kakinya lalu berkata: "Saya  menjulurkannya dengan tidak sombong." Karena secara lafaz, sesungguhnya larangan tersebut telah  mencukupi, dan tidak  boleh juga lafaz yang telah memadai itu ada yang menyelisihinya secara hukum, lalu berkata: "Tidak ada perintahnya," karena ‘illat (alasannya) itu  tidak ada. Sesungguhnya itu adalah klaim yang tidak benar, bahkan memanjangkan ujung pakaian justru itu menunjukkan kesombongan sendiri. Selesai."   (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Kitab Al Libas Bab Man Jarra Tsaubahu min Al Khuyala, Juz. 16, Hal. 336, No hadits. 5354. Lihat juga Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Kitab Al Libas Bab Ar Rukhshah fi Al Libas Al Hamil …, Juz. 2, Hal. 114. Maktabah Ad Da'wah)
      Jadi Ibnu ‘Arabi berpendapat sombong adalah sifat yang melekat pada isbal dan bukan merupakan illat (penyebab diberlakukannya hukum) larangan isbal.

      Mereka yang menunjukkan bahwa sombong ini merupakan sifat dan bukan illat juga berdalil dengan hadits ini :

      Telah menceritakan kepada kami Yazid, telah mengabarkan kepada kami Sallam bin Miskin dari ‘Aqil bin Thalhah, telah menceritakan kepada kami Abu Jurai Al Hujaimi ia berkata; Aku datang kepada Rasulullah s.a.w., lalu aku bertanya; "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami adalah satu kaum dari penduduk dusun, maka ajarkanlah pada kami sesuatu yang Allah Tabaraka wa Ta'ala akan memberikan manfaat buat kami!." Beliau bersabda: "Janganlah meremehkan kebaikan sekecil apapun, sekalipun hanya dengan menuangkan ember airmu ke bejana orang yang membutuhkan air, dan sekalipun kamu berbicara dengan saudaramu dengan wajah berseri-seri, dan janganlah engkau menurunkan kain di bawah mata kaki (isbal) karena ia bagian dari sifat sombong, sementara Allah ‘azza wajalla tidak menyukai menyukai sifat sombong,." (H.R. Ahmad No. 19716)

      Maka sebenarnya hadits di atas adalah hadits dla'if, karena salah satu perawinya didiskriditkan (dijarh). Ibnu Hajar Asqolani mengatakan bahwa salah satu perawinya yaitu Salam bin Miskin bin Rabi'ah tertuduh beraliran qodariyah dan tertolak haditsnya.

      Telah menceritakan kepada kami ‘Affan, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami ‘Abidah Al Hujaimi dari Abu Tamimah Al Hujaimi dari Abu Jurai Jabir bin Sulaim ia berkata; Rasulullah s.a.w. bersabda : "Janganlah kamu sekali-kali mencaci seseorang, dan jauhilah olehmu isbal (menurunkan kain dibawah mata kaki), karena isbal adalah bagian dari kesombongan, karena Allah Azza wa Jalla sangat membencinya…." (H.R. Ahmad No. 19717)

      Pada hadits di atas disebutkan karena isbal itu bagian dari kesombongan maka di sini sombong adalah kesan / sifat yang melekat pada isbal dan bukan sebab dilarangnya isbal. Namun hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah karena Ibnu Hajar Asqolani dan Adz Dzahabi mengatakan ‘Abidah Al Hujaimi atau Ubaidah adalah perawi majhul (tidak dikenal) ada pula yang mengatakan ia tabi'in yang tidak jumpa sahabat jadi sanadnya terputus.

      Telah menceritakan kepada kami Abu Nadlr berkata; telah menceritakan kepada kami Al Hakam bin Fudlail dari Khalid Al Hadza` (bin Mihram) dari Abu Tamimah (Tharif bin Mujalad) dari seorang laki-laki dari kaumnya sesungguhnya dia mendatangi Rasulullah s.a.w. atau berkata; saya melihat Rasulullah s.a.w. didatangi oleh seorang laki-laki ….lalu orang itu masuk Islam, lalu berkata; ‘Berilah wasiat kepadaku Wahai Rasulullah.' Beliau bersabda kepadanya, " Hindarilah isbal (menurunkan pakaian sampai menutupi mata kaki) dalam pakaian sesungguhnya itu merupakan bagian dari kesombongan. Sedang Allah Tabaroka Wa Ta'ala tidak menyukai orang yang sombong." (H.R. Ahmad No. 16021)

      Abu Tamimah adalah julukan bagi Tharif bin Mujalad, seorang tabi'in yang hidup di Basrah (Iraq). Hadits ini terputus pada  bagi Tharif bin Mujalad dan tidak jelas ia mendapat hadits ini dari siapa. Maka hadits ini tidak bersambung sampai pada Rasulullah s.a.w. Maka hadits ini jelas dla'if. Dan ulama sepakat bahwa hadits dla'if tidak bisa dijadikan dalil dalam perkara penetapan halal haram.

      Maka dapat kita simpulkan bahwa hadits yan dijadikan dalil orang yang berpendapat bahwa perkataan "karena sombong" adalah merupakan sifat dari menurunkan kain adalah tidak kuat.

      Jika sombong merupakan sifat dari isbal dan bukannya illat (alasan penyebab diberlakukannya larangan isbal), itu berarti menurunkan kain (isbal) itu adalah ciri adanya kesombongan. Maka  kapan pun dimanapun, isbal itu sudah pasti sombong. Namun hadits-hadits lainnya menyatakan bahwa ada beberapa kondisi isbal yang ternyata dibolehkan. Ini menunjukkan tertolaknya anggapan bahwa sombong adalah sifat yang melekat pada isbal.

      Dibolehkan Isbal Pada Wanita ?

      Semua hadits-hadits yang membicarakan pelarangan Isbal di atas bersifat umum dan tidak khusus ditujukan pada kaum laki-laki saja,walaupun konteks peristiwanya saat itu yang berbicara adalah Rasulullah s.a.w. dengan para sahabat yang notabene laki-laki.

      Maka ketika Rasulullah s.a.w. berhadapan dengan kaum wanita, nampak jelas bahwa dibolehkan memanjangkan kain, karena jika mengikuti ketentuan memendekkan kain seperti laki-laki akan menyebabkan betis dan mata kaki mereka nampak.

      Telah mengabarkan kepada kami Nuh bin Habib ia berkata; telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq ia berkata; telah menceritakan kepada kami Ma'mar dari Ayyub dari Nafi' dari Ibnu Umar ia berkata, "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa memanjangkan kainnya karena sombong maka Allah tidak akan melihatnya." Ummu Salamah bertanya, "Wahai Rasulullah, apa yang harus dilakukan oleh para wanita dengan kain mereka?" Beliau menjawab: "Kalian boleh memanjangkannya sejengkal." Ummu Salamah bertanya lagi, "Jika begitu, maka kaki mereka akan terbuka!" Beliau menjawab: "Kalian boleh menambahkan satu hasta dan jangan lebih." (H.R. Nasa'i No. 5241)

      Maka ada yang mengatakan bahwa kebolehan ini hanya khusus wanita saja. Namun kami mengatakan di sini sekali lagi bahwa hal ini menunjukkan kebolehan isbal itu karena tidak adanya kesombongan. Jika kesombongan itu bukanlah illat (sebab diberlakukannya hukum dilaranganya isbal) melaikan keterangan sifat yang melekat pada isbal maka itu berarti setiap isbal itu adalah sombong.
       
      Sumber: 
      Diambil dr berbagai sumber


      Terlepas dari apa yang saya paparkan diatas, siapakah atau golongan atau pendapat yang benar hanya Allah SWT yang maha mengetahuinya, Akan tetapi alangkah indahnya kalau agama ini penuh dengan kebersamaan , Bukan saling menyalahkan, menghukumi atau bahkan mengkafirkan golongan lain,
      Bukankah Islam itu Rahmatallil Alamin, Lebih baik jika kita lebih memperhatikan diri kita supaya bersih hati kita dan menata Ahlak menjadi lebih baik lagi,
      Bukankah Sesungguhnya Rasul Muhammad SAW diutus untuk menyempurnakan Ahlak,
      Seyogya nya apa yang kita yakini, akan lebih baik jika kita jalani tanpa harus menyalahkan orang, golongan atau pendapat yang lain.
      Marilah kita saling berbenah diri, semoga kita selalu dalam RidloNya, Amiin.
      Akhirul kata "Semoga bermanfaat, mohon maaf atas segala kekurangan
      وَالسَّلاَمُ عَلْكُمْ وَرَحْمةُاللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ